Jumat, 30 Desember 2011

Apakah puasa itu ?

SETIAP Ramadan tiba kata puasa lalu menjadi kata yang paling popular di kalangan
muslim Indonesia. Puasa, kata itu, adalah salah satu elemen dari rukun Islam, yang
menjadi satu-satunya kata yang tidak berasal dari Bahasa Arab. Kenyataan itu berbeda
dengan kata “syahadat”, “shalat”, “zakat” dan “hajj” yang kemudian diserap oleh Bahasa
Indonesia menjadi syahadat, salat, zakat dan haji— yang semuanya berasal dari
khazanah Bahasa Arab.
Memang ada sebagian orang yang menggunakan kata salat dan sembahyang untuk
menyebut salat. Namun baik salat maupun sembahyang masih memiliki relasi makna.
Sembahyang misalnya, berasal dari dua kata sembah dan hyang yang berarti
menyembah Tuhan (Allah). Kata itu sengaja diserap dan kemudian digunakan oleh
para penyebar Islam di Nusantara untuk menarik minat penganut Hindu yang telanjur
datang terlebih dahulu ke Indonesia. Melalui pendekatan kata tersebut, makna kata
salat juga tak berkurang dari makna awalnya yaitu sebagai sebuah perbuatan untuk
menyembah Allah. Tapi puasa?
Sama dengan kata sembahyang, kata itu berasal dari Bahasa Sansekerta. Puasa
berasal dari dua kata yaitu upa yang berarti dekat dan wasa yang berarti Yang Kuasa—
makna kata puasa yang asli adalah dekat kepada Tuhan yang kuasa.
Jadi upawasa atau yang kemudian diserap dan dilafalkan menjadi kata “puasa” di
dalam Bahasa Indonesia tidak lain adalah sebuah perbuatan untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan. Dengan pengertian itu, kata puasa sebenarnya tak berhubungan
secara langsung dengan makna asli dari kata shaum yang dikehendaki dalam Bahasa
Arab yaitu menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan badan,
dan tidak berbicara.
Tak lalu penggunaan kata puasa menjadi tak bermakna. Secara kelaziman, orang yang
berhenti untuk makan, untuk minum, untuk berhubungan badan, dan untuk bicara—
seharusnya memang dekat kepada Tuhan (puasa). Apalagi dalam perkembangannya,
makna dari kata puasa juga sudah berubah, dari semula sebagai dekat kepada Tuhan
menjadi menghindari makan dan minum dengan sengaja. Paling tidak, begitulah tafsir
tentang kata puasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada Bahasa Inggris. Bahasa itu sebenarnya
tak memiliki kata khusus untuk mengganti kata shaum. Kata fasting yang dianggap
mewakili makna puasa, kalau digunakan untuk menjelaskan sebuah perbuatan yang
sengaja tidak makan, tidak minum— akan sulit dicerna oleh mereka yang dalam
kesehariannya berbahasa Inggris.
Persoalannya karena pada mereka tidak lazim untuk melakukan fasting sehingga kata
itu sangat jarang digunakan dan terabaikan. Sebaliknya kata fasting akan mudah
dipahami jika terutama disertai konteks tentang Ramadan. Singkat kata, bagi mereka
yang berbahasa Inggris (orang Barat) fasting baru bisa bermakna jika terutama disertai
dengan kata Ramadhan.
Identik Kata dengan Makna
Lalu apa yang sebetulnya yang disebut sebagai puasa atau fasting dalam konteks
shaum? Kata dasar shaum atau shiyam adalah shat-wa-mim. Dua kata itu secara
bahasa berarti menahan (imsaak).
Dalam Fathul al Qadir, al Syaukani memaknai kata itu sebagai sebuah tindakan untuk
tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Namun arus besar dari ahli tafsir
sepakat bahwa makna shaum yang paling asli adalah tidak makan, tidak minum, tidak
berhubungan seks, dan tidak berbicara. Makna untuk tidak makan, tidak minum, tidak
berhubungan badan, dan tidak berbicara pada kata shaum itu bisa melekat secara
sendiri-sendiri, maupun melekat sebagai satu kesatuan.
Argumen dari arus besar ini adalah bunyi dari redaksi surat al Maryam ayat 26 yang
menyebut, “…aku telah bernazar kepada Pemelihara yang Penuh Kasih untuk
menahan (shauman) bicara…” Kata shauman dalam ayat tersebut merupakan indikasi
bahwa makna kata shaum bukan hanya menyangkut urusan menahan lapar dan
dahaga melainkan juga untuk menahan bicara.
Dalam Melacak Sejarah Ramadan & Syariat Puasa, M. Luthfi Mathofi dari Departemen
Tafsir Universitas al Azhar, Mesir— menjelaskan bahwa sifat “menahan” yang
terkandung dalam kata shaum menjadi pembeda puasa dengan amal ibadah yang lain.
Jika ibadah lain seperti syahadat, salat, zakat, berhaji dan sebagainya niscaya tampak
atau diketahui secara perbuatan, namun tidak dengan puasa.
Sebagai sebuah ibadah, puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan melalui
misalnya gerakan fisik. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammas saw. menjelaskan,
bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya’ –memamerkan kebaikan—
adalah puasa.
Maka merujuk kepada redaksi surat Maryam itu, kata shaum sebenarnya menyangkut
urusan niat. Jika niat dari perbuatan shaum adalah untuk tidak makan dan minum
dalam waktu tertentu, maka makna shaum bisa berarti sebagai sebuah usaha untuk
menahan diri dari makan dan minum. Jika berniat untuk tidak berbicara, untuk tidak
korupsi, untuk tidak otoriter, untuk tidak sombong, tak merasa paling dan sebagainya—
maka makna shaum berarti menahan diri dari perbuatan atau hal-hal yang bisa
membatalkan niat tersebut.
Dalam kaidah fikih, yang dimaksud sebagai shaum adalah sebuah perbuatan untuk
tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan badan— yang disertai niat pada malam harinya, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Jika kemudian apa
yang disebut sebagai shaum (puasa) identik atau selalu dikaitkan dengan Ramadan
sebagai bulan, hal itu disebabkan oleh sering munculnya dua kata itu dalam satu
kesatuan kalimat, baik di dalam teks al Quran maupun hadis.
Redaksi dari surat al Baqarah 185 yang menyebutkan “syahru Ramadhana…” dan
redaksi hadis yang menjelaskan “imaanan wahtisaaban man shama Ramadhana”,
harus dibaca bahwa puasa tidak bisa dilepaskan dari Ramadan, dan Ramadan tak bisa
dipisahkan dengan puasa. Dengan kalimat lain Ramadan tanpa puasa adalah batal
sebagai bulan, dan puasa tanpa Ramadan adalah kurang bermakna sebagai
pengabdian (ibadah).
Ada banyak argumen untuk menjelaskan, mengapa misalnya, Ramadan identik dengan
puasa dan sebaliknya puasa identik dengan Ramadan. Antara lain pendapat yang
menyatakan bahwa kata atau nama Ramadhan merupakan salah satu nama Allah.
Namun pendapat yang mungkin paling sahih, adalah pendapat yang menyandarkan
kepada asal usul kata Ramadhan. Berasal dari kata dasar r-m-dh atau ra-mim-dhat,
Ramadhan sebagai kata memiliki arti panas.
Dalam struktur Bahasa Arab yang membolehkan makna pada kata berkembang maka
panas yang dimaksud oleh kata ra-mim-dhat bisa juga berarti panas yang menyengat,
menjadi panas, sangat panas, atau hampir membakar. Ungkapan seperti qad ramidha
yaumuna dalam Bahasa Arab memiliki pengertian bahwa hari telah menjadi sangat
panas, sementara kata ar ramadhu berarti panas yang diakibatkan sinar matahari.
Singkat kata, menurut Luthfi, Ramadhan sudah menjadi ism ghairi munsharif atau
makna dan maksud kata itu sudah cukup terkenal sehinggatidak perlu lagi mengikuti
kaidah-kaidah tata Bahasa Arab.
Keterangan-keterangan tentang asal usul kata Ramadhan semacam itu, bisa dibaca
dan dijumpai antara lain di dalam kamus Mukhtaru ash Shihhah yang ditulis oleh oleh
Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir al Razi, atau di dalam buku Lisanul Arab
karya Muhammad bin Mukarram bin Mandzur Al-Mashri. Dua penulis besar itu, hidup
pada periode yang hampir bersamaan yaitu antara tahun-tahun pertengahan abad
keenam hijriah hingga tahun-tahun awal abad ketujuh hijriah.
Alias atau Nama Lain
Sampai pada titik ini bisa disepakati, mengapa kemudian puasa identik dengan
Ramadan sebagai bulan dan Ramadan identik dengan puasa sebagai ibadah. Karena
baik kata Ramadhan maupun kata shaum pada dasarnya memiliki hubungan makna
yang dekat dan saling bersentuhan yaitu panas. Tidakkah bagi manusia yang semula
biasa makan, minum dan berhubungan badan pada siang hari— kemudian diwajibkan
untuk mengosongkan perut dan mengeringkan kerongkongan tidak akan merasakan
apa pun kecuali Ramadhan, panas yang luar biasa itu?
Misalnya seperti perut melilit, mulut dan kerongkongan kering, dan seluruh anggota
badan juga tidak nyaman. Karena itu cukup alasan, mengapa bulan puasa yang jatuh
pada bulan kesembilan pada almanak hijriah disebut sebagai bulan Ramadan.
Di luar identifikasi Ramadan dengan puasa, Ramadan di dalam Islam sebagai bulan
ditempatkan atau memiliki derajat yang lebih istimewa dibanding bulan-bulan lainnya.
Ramadan misalnya merupakan salah satu bulan pilihan untuk tidak menyebut sebagai
satu-satunya bulan pilihan di dalam ajaran Islam.
Dalam riwayat Thabrani, Nabi Muhammad saw. menempatkan Ramadan sebagai
penghulu dari semua bulan. Nabi juga pernah menegaskan, andai manusia tahu apa
yang terdapat pada bulan Ramadan, pastilah mereka akan mengharapkan bahwa
Ramadan itu selama satu tahun.
Namun keistimewaan Ramadan tak hanya terbatas oleh sebab-sebab semisal karena
ada kewajiban untuk berpuasa. Di atas segalanya karena sebagian besar untuk tidak
menyebut seluruhnya, berkah dari langit diturunkan hanya pada saat Ramadan.
Kalam atau kata pertama bagi manusia yang disampaikan Jibril kepada Nabi misalnya,
datang kali pertama pada bulan Ramadan sehingga bulan itu juga disebut sebagai
syahr al Quran. Peristiwa yang sama juga terjadi ketika Nabi Ibrahim as. menerima
shuhuf, Nabi Daud as. menerima Zabur, Nabi Musa as. menerima Taurat, dan Isa as.
menerima Injil.
Ramadan adalah juga bulan yang paling banyak memiliki alias atau nama lain. Ia
misalnya bisa disebut sebagai syahr Allah atau bulan Allah karena ibadah puasa yang
dilakukan pada Ramadan hanya khusus untuk Allah. Bisa disebut sebagai syahr ala i
karena hanya pada bulan Ramadan semua berkah dari langit diturunkan. Dapat pula
dikatakan sebagai syahr an najah atau bulan pelepasan diri dari neraka.
Nama lainnya antara lain, syahr al jud (bulan untuk banyak melakukan derma), syahr al
muwasah (bulan pemberian pertolongan), syahr al tilawah (bulan untuk membaca dan
menekuni Al Quran), syahr as shabri (bulan untuk bersabar), dan sebagainya. Ahlan wa
sahlan ya Ramadhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar