Minggu, 01 Januari 2012

Riwayat singkat Muhammad ibnu Abdul Wahhab


Menurut riwayat, Muhammad ibnu Abdul Wahhab ini dilahirkan di perkampungan ‘Uyainah dibagian selatan kota Najd ( Saudi Arabia) tahun 1703 masehi dan wafat tahun 1792 masehi, ia mengaku sebagai salah satu penerus ajaran Ibnu Taimiyyah. Pengikut akidah dia ini dikenal sekarang dengan nama ‘golongan Wahabi atau dikenal juga dengan Salafi ’. Nama Wahabi atau al-Wahabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama pendirinya yaitu Muhammad ‘Abd al-Wahhab al-Najdi. Ia tidak dinamakan golongan/madzhab al-Muhammadiyyah tidak lain bertujuan untuk membedakan diantara para pengikut Nabi Muhammad saw. lainnya dengan pengikut madzhab mereka, dan juga bertujuan untuk menghalangi segala bentuk eksploitasi (istighlal). Penganut Wahabi sendiri menolak untuk dijuluki sebagai penganut madzhab Wahabi dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan alMuwah- hidun (unitarians) atau madzhab Salafus Sholeh atau Salafi (pengikut kaum Salaf) karena–menurut mereka–ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid kedalam Islam dan  kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah saw.
Menurut ulama –Muhammad Ibnu Abdul Wahhab– ini amat mahir didalam mencampur-adukkan antara kebenaran dengan kebatilan. Oleh karena itu, sebagian kaum Muslimin berbaik sangka kepadanya dan menggelarinya dengan sebutan Syeikhul Islam, sehingga dengan demikian namanya menjadi masyhur dan ajarannya menjadi tersebar, padahal itu semua telah banyak dikecam oleh para ulama dan pakar karena kebatilan akidah dan pahamnya itu. Pada masanya keyakinan madzhab Hanbali (Ahmad bin Hanbal rh) untuk pertama kali didalam sejarahnya mencapai kemuliaan dan kebesarannya, yang mana pada dua periode sebelumnya tidak memperoleh keberhasilan yang besar. Adapun yang menjadi sebabnya ialah karena golongan Asy’ariyyah secara langsung memonopoli bidang keyakinan sepeninggal Imam Ahmad bin Hanbal. 

Muhamad Ibnu Abdul Wahhab mempunyai akidah atau keyakinan bahwa tauhid itu terbagi dua macam yaitu; Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah. Adapun mengenai tauhid rububiyyah, baik orang muslim maupun orang kafir mengakui itu. Adapun tauhid uluhiyyah, dialah yang menjadi pembeda antara kekufuran dan Islam. Dia berkata: “Hendaknya setiap Muslim dapat membedakan antara kedua jenis tauhid ini, dan mengetahui bahwa orang-orang kafir tidak mengingkari Allah swt. sebagai Pencipta, Pemberi rezeki dan Pengatur”. Dia dengan berdalil firman-firman Allah swt. berikut ini:                        
 – “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang  mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?’ “. (S.Yunus [10] ;31). 

 – “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan’? Tentu mereka akan menjawab,’Allah’, maka betapakah mereka dapat dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (S. Al ‘Ankabut [29] ; 61) 

Selanjutnya Ibnu Abdul Wahhab berkata:  "Jika telah terbukti bagi anda bahwa orang-orang kafir mengakui yang demikian, niscaya anda mengetahui bahwa perkataan anda yang mengatakan 'Sesungguhnya tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah, serta tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah, tidaklah menjadikan diri anda seorang muslim sampai anda mengatakan, ‘Tidak ada Tuhan selain Allah’ dengan mengikuti/disertai melaksanakan artinya'"”. (Fi ‘Aqaid al-Islam, Muhmmad bin Abdul Wahhab, hal. 38).

Dengan pemahaman Muhammad Abdul Wahhab yang sederhana mengenai ayat-ayat Allah swt. ini dia mudah mengkafirkan masyarakat muslim dengan mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang musyrik zaman kita–yaitu orang-orang muslim– lebih keras kemusyrikannya dibandingkan orang-orang musyrik yang pertama. Karena, orang-orang musyrik zaman dahulu (yang pertama), mereka hanya menyekutukan Allah disaat lapang, sementara disaat genting mereka mentauhidkan-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt. yang berbunyi, “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai kedarat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (Risalah Arba’ah Qawa’id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.4)  

Dia juga mengatakan setiap orang yang bertawassul kepada Rasulallah saw. dan para Ahlul-Baitnya (keluarganya), atau menziarahi kuburan mereka, maka dia itu kafir dan musyrik; dan bahkan kemusyrikannya jauh lebih besar daripada kemusyrikan para penyembah Lata,‘Uzza, Mana dan Hubal. Dibawah naungan keyakinan inilah mereka membunuh orang-orang muslim yang tidak berdosa dan merampas harta benda mereka, pedoman yang sering mereka kumandangkan ialah: “Masuklah kedalam ajaran Wahabi. Dan jika tidak, niscaya anda terbunuh, istri anda menjadi janda, dan anak anda menjadi yatim”. 

Dapat dibaca dalam kitab al-Radd ‘ala al-Akhna’i oleh Ibnu Taimiyyah bahwa dia menganggap hadits-hadits yang diriwayatkan tentang kelebihan ziarah Rasulallah saw. sebagai hadits mawdu‘ (palsu). Dia juga turut menjelaskan, orang yang berpegang kepada akidah bahwa Nabi saw. masih hidup walaupun sesudah mati seperti kehidupannya semasa baginda masih hidup, dia telah melakukan dosa yang besar’. Inilah juga yang sering di-iktiqadkan oleh Muhamad Abdul Wahhab dan para pengikutnya, bahkan mereka menambahkan kebatilan mengenai masalah tersebut.  

Memonopoli ajaran Tauhid dan pengkafiran terhadap para ulama
Sekte Wahabi mengaku sebagai satu-satunya pemilik ajaran Tauhid yang bermula dari pendirinya, Muhamad bin Abdul Wahhab. Dengan begitu akhirnya mereka tidak mengakui konsep Tauhid yang dipahami oleh ulama muslimin selain sekte Wahabi dan pengikutnya. Kini kita akan melihat beberapa tekts yang dapat menjadi bukti atas pengkafiran Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap para ulama, kelompok dan masyarakat muslim selain pengikut sektenya. Kita akan menjadikan buku karya Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim al-Hanbali an-Najdi yang berjudul “Ad-Durar as-Saniyah” sebagai rujukan kita. Beberapa ungkapan Muhamad bin Abdul Wahhab ,berikut ini, yang berkaitan dengan dakwaannya atas monopoli kebenaran konsep Tauhid versinya, dan menganggap selain apa yang dipahami sebagai kebatilan yang harus diperangi:
 “…Dahulu, aku tidak memahami arti dari ungkapan Laailaaha illallah. Kala itu, aku juga tidak memahami apa itu agama Islam. (Semua itu) sebelum datangnya anugerah kebaikan yang Allah berikan (kepadaku). Begitu pula para guru (ku), tidak seorangpun dari mereka yang mengetahuinya. Atas dasar itu, setiap ulama ’al-Aridh’ yang mengaku memahami arti Laailaaha illallah atau mengerti makna agama Islam sebelum masa ini (yakni sebelum masa anugerah Allah kepada Muhamad bin Abdul Wahhab, red) atau ada yang mengaku bahwa guru-gurunya mengetahui hal tersebut, maka ia telah melakukan kebohongan dan penipuan. Ia telah mengecoh masyarakat dan memuji diri sendiri yang tidak layak bagi dirinya.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 51 ).

Dengan ungkapannya itu Muhamad Abdul Wahhab mengaku hanya dirinya sendiri yang memahami konsep tauhid dari kalimat Laailaaha illallah dan telah mengenal Islam dengan sempurna. Dia menafikan pemahaman ulama dari golongan manapun berkaitan dengan konsep Tauhid dan pengenalan terhadap Islam, termasuk guru-gurunya sendiri dari madzhab Hanbali, apalagi dari madzhab lain. Dia menuduh para ulama lain yang tidak memahami konsep Tauhid dan Islam –ala versinya– telah melakukan penyebaran ajaran bathil, ajaran yang tidak berlandaskan ilmu dan kebenaran.      

“Mereka (ulama Islam) tidak bisa membedakan antara agama Muhammad dan agama ‘Amr bin Lahyi’ yang dibuat untuk di-ikuti orang Arab. Bahkan menurut mereka, agama ‘Amr adalah agama yang benar.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 51).

Siapakah gerangan ‘Amr bin Lahyi itu? Dalam kitab sejarah karya Ibnu Hisyam disebutkan bahwa: “ Ia adalah pribadi yang pertama kali pembawa ajaran penyembah berhala ke Makkah dan sekitarnya. Dahulu ia pernah bepergian ke Syam. Disana ia melihat masyarakat Syam menyembah berhala. Melihat hal itu ia bertanya dan lantas dijawab: ‘Berhala-berhala inilah yang kami sembah. Setiap kali kami menginginkan hujan dan pertolongan maka merekalah yang menganugerahkannya kepada kami, dan memberi kami perlindungan”. Kemudian ‘Amr bin Lahy berkata kepada mereka: ‘Apakah kalian tidak berkenan memberikan patung-patung itu kepada kami sehingga kami bawa ke tanah Arab untuk kami sembah?’.Lalu ia mengambil patung terbesar yang bernama Hubal untuk dibawa ke kota Makkah yang kemudian diletakkan di atas Ka’bah. Dia menyeru masyarakat sekitar untuk menyembahnya” (Lihat: as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam jilid 1 hal.79). Dengan demikian Muhamad bin Abdul Wahhab telah menyamakan para ulama Islam –selain dia dan pengikutnya– dengan ‘Amr bin Lahy pembawa ajaran syirik dan menuduh para ulama mengajarkan ajaran syirik serta para pengikutnya sebagai penyembah berhala yang dibawa oleh ulama-ulama Islam itu. Siapapun yang memahami ajaran Tauhid ataupun pemahaman Islam yang berbeda dengan versi Muhamad Ibnu Abdul-Wahhab dan pengikutnya, maka ia masih tergolong sesat karena tidak mendapat anugerah khusus Ilahi. Tidak lain karena, para ulama Islam –selain sekte Wahabi– meyakini legalitas ajaran seperti Tabarruk, Tawassul…dan sebagainya (baca bab Tawassul/Tabarruk dibuku ini).  

Muhammad bin Abdul Wahhab Mengkafirkan Beberapa Tokoh Ulama:  
Di sini, kita akan mengemukakan beberapa pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap beberapa tokoh ulama Ahlusunah yang tidak sejalan dengan pemikiran sektenya: Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Sahim –seorang tokoh madzhab Hanbali pada zamannya– Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menuliskan: ‘Aku mengingatkan kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan kekafiran, syirik dan kemunafikan !….engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu telah berbuat permusuhan terhadap agama ini !…engkau adalah seorang penentang yang sesat di atas keilmuan.

Dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 31).

Dalam surat yang dilayangkan kepada Ahmad bin Abdul Karim yang mengkritisinya. Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menuliskan: “Engkau telah menyesatkan Ibnu Ghonam dan beberapa orang lainnya. Engkau telah lepas dari millah (ajaran) Ibrahim. Mereka menjadi saksi atas dirimu bahwa engkau tergolong pengikut kaum musyrik” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 64).

Dalam sebuah surat yang dilayangkan untuk Ibnu Isa  –yang telah melakukan argumentasi terhadap pemikirannya –Muhammad Abdul Wahhab menvonis sesat para pakar fikih (fuqoha) secara keseluruhan.Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menyatakan: (Firman Allah); “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Rasul dan para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan itu yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain selain Allah. Aku tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam masalah ini.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 59).

Berkaitan dengan Fakhrur Razi –pengarang kitab Tafsir al-Kabir, yang bermadzhab Syafi’i Asy’ary– ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 355). Betapa kedangkalan ilmu Muhamad bin

Abdul Wahhab terhadap karya Fakhrur Razi. Padahal dalam karya tersebut, Fakhrur Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan fungsi gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi, termasuk berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhamad bin Abdul Wahhab dengan keterbatasan ilmu  terhadap ilmu perbintangan telah menvonisnya dengan julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang cukup.
Setelah adanya makalah-makalah diatas, lantas apakah layak ia disebut ulama pewaris akhlak dan ilmu Nabi, apalagi pembaharu (mujaddid) sebagaimana yang diakui oleh kaum Wahabi? Dari berbagai pernyataan di atas maka jangan kita heran jika lantas Muhammad bin Abdul Wahhab pun mengkafirkan –serta di-ikuti oleh para pengikutnya (Wahhabi)– para pakar teologi (mutakallimin) Ahlusunnah secara keseluruhan (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 53), bahkan ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengaku-ngaku bahwa kesesatan para pakar teologi tadi merupakan konsensus (ijma’) para ulama dengan mencatut nama para ulama seperti adz-Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi.
Padahal jika seseorang meneliti apa yang ditulis oleh seorang seperti adz-Dzahabi –yang konon kata Ibnu Abdul Wahhab juga mengkafirkan para teolog– dalam kitabnya ‘Siar A’lam an-Nubala’ dimana beliau (Adz-Dzahabi) banyak menjelaskan dan memperkenalkan beberapa tokoh teolog, tanpa terdapat ungkapan pengkafiran dan penyesatan. Walaupun kalaulah umpama terdapat beberapa teolog yang menyimpang namun tentu bukan hal yang bijak jika hal itu di generalisir. Jika kita teliti dari konteks yang terdapat dalam ungkapan Muhamad bin Abdul Wahhab, jelas sekali yang ia maksud bukanlah para teolog non muslim atau yang menyimpang saja, tetapi semua para teolog muslim seperti Abul Hasan al-Asy’ari –pendiri mazhab ‘Asy’ariyah– dan selainnya sekalipun. Jangankan terhadap orang yang berlainan madzhab –konon Muhamad bin Abdul Wahhab yang mengaku sebagai penghidup ajaran dan metode (manhaj) Imam Ahmad bin Hanbal sesuai dengan pemahaman Ibnu Taimiyah– dengan sesama madzhab pun turut disesatkan. Kita akan melihat contoh berikut ini dari penyesatan pribadi-pribadi tersebut:       

“Adapun Ibnu Abdul Lathif, Ibnu ‘Afaliq dan Ibnu Mutlaq adalah orang-orang yang pencela ajaran Tauhid..., namun Ibnu Fairuz dari semuanya lebih dekat dengan Islam”(Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 78).                

Apa makna lebih dekat pada tekts diatas? Berarti mereka bukan Islam (baca:kafir) namun mendekati ajaran Islam. Padahal Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengakui bahwa Ibnu Fairuz adalah pengikut dari mazhab Hanbali, penjunjung ajaran Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah. Bahkan di tempat lain, Muhammad Abul Wahhab berkaitan dengan Ibnu Fairuz mengatakan: “Dia telah kafir dengan kekafiran yang besar dan telah keluar dari millah (agama Islam)” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 63).       

Bagaimana Muhamad bin Abdul Wahhab tega dan berani mengkafirkan orang yang se-manhaj dengannya? Jika rasa persaudaraan terhadap orang yang se-manhaj saja telah sirna, lantas bagaimana mungkin ia memiliki jiwa persaudaraan dengan pengikut manhaj lain yang di luar manhajnya? Niscaya pengkafirannya akan menjadi-jadi dan lebih menggila!       

Kita akan kembali melihat apa yang diungkapkannya kepada pengikut ajaran lain. Jika para ulama pakar fikih (fuqoha’) dan ahli teologi (mutak-klim) telah disesatkannya, maka jangan heran pula jika pakar ilmu mistik modern (baca: tasawwuf falsafi) seperti Ibnu ‘Arabi pun dikafirkan sekafir-kafirnya. Bahkan dinyatakan bahwa kekafiran Ibnu Arabi yang bermadzhab Maliki itu dinyatakan lebih kafir dari Fir’aun. Bahkan bukan hanya sebatas pengkafiran dirinya terhadap pribadi Ibnu Arabi saja, tetapi Muhamad Abdul Wahhab telah memerintahkan (baca: mewajibkan) orang lain untuk mengkafirkannya juga. Dia menyatakan: “Barangsiapa yang tidak mengkafirkannya (Ibnu Arabi) maka iapun tergolong orang yang kafir pula”. Dan bukan hanya orang yang tidak mau mengkafirkan yang divonis Muhamad bin Abdul Wahhab sebagai orang kafir, bahkan yang ragu dalam kekafiran Ibnu Arabi pun divonisnya sebagai orang kafir. Ia mengatakan: “Barangsiapa yang meragukan kekafirannya (Ibnu Arabi) maka ia tergolong kafir juga”. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 25).
Mungkinkan sekte pengkafiran ini mampu mewakili sebagai ajaran suci Rasulallah saw. yang dinyatakan sebagai “Rahmatan lil Alaminin”?      
Mari kita lanjutkan lagi pengkafiran terhadap kaum muslimin yang tidak mengikuti ajaran sekte Syeikh Pendiri Wahhabi yang berasal dari Najd itu:               
Pengkafiran Penduduk Makkah: Dalam hal ini Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan: “Sesungguhnya agama yang dianut penduduk Makkah (pada zamannya .red) sebagaimana halnya agama yang karenanya Rasulullah diutus untuk memberi peringatan (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 86, dan atau pada jilid 9 halaman 291)        
             
Pengkafiran Penduduk Ihsa’: Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan: ‘Sesungguhnya penduduk Ihsa’ di zaman (nya) adalah para penyembah berhala (baca: Musyrik)” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman113)      

Pengkafiran Penduduk ‘Anzah: Berkaitan dengan ini, Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan: ‘Mereka telah tidak meyakini hari akhir ’ (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 113).          

Pengkafiran Penduduk Dhufair: Penduduk Dhufair merasakan hal yang sama seperti yang dialami oleh penduduk wilayah ‘Anzah, dituduh sebagai pengingkar hari akhir (kiamat). (Lihat:Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 113).        

Pengkafiran Penduduk Uyainah dan Dar’iyah: Para ulama wilayah tersebut terkhusus Ibnu Sahim al-Hanbali beserta para pengikutnya telah dicela, dicaci dan dikafirkan. Dikarenakan penduduk dua wilayah itu (Uyainah dan Dar’iyah) bukan hanya tidak mau menerima doktrin ajaran sekte Muhamad bin Abdul Wahhab, bahkan ada usaha mengkritisinya dengan keras. Atas dasar ini maka Muhamad bin Abdul Wahhab tidak segan-segan mengkafirkan semua penduduknya, baik ulamanya hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 8 halaman 57).  

Pengkafiran Penduduk Wasym: Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab telah menvonis kafir terhadap semua penduduk Wasym, baik kalangan ulamanya hingga kaum awamnya(Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 hal.77). 

Pengkafiran Penduduk Sudair: Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab telah melakukan hal yang sama sebagaimana yang dialami oleh penduduk wilayah Wasym. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 77).    

Dari contoh-contoh tadi telah jelas dan tidak mungkin dapat dipungkiri oleh siapapun –baik yang pro maupun yang kontra terhadap sekte Wahabisme– bahwa Muhamad bin Abdul Wahhab telah mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sepaham dengan keyakinan-keyakinannya yang merupakan hasil inovasi (baca: Bid’ah) pikirannya. Baik bid’ah tadi berkaitan dengan konsep tauhid sehingga muncul vonis pensyirikan Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap kaum muslimin yang tidak sejalan maupun keyakinan lain –seperti masalah tentang pengutusan Nabi, hari akhir/kiamat dan sebagainya– yang menyebabkan munculnya vonis kafir. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 43).  
Marilah kita perhatikan ungkapan Muhamad bin Abdul Wahhab pendiri sekte Wahabisme berkaitan dengan kaum muslimin di zamannya secara umum. Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan:      
“Banyak dari penghuni zaman sekarang ini yang tidak mengenal Tuhan yang seharusnya disembah, melainkan Hubal, Yaghus, Ya’uq, Nasr, al-Laata, al-Uzza dan Manaat. Jika mereka memiliki pemahaman yang benar niscaya akan mengetahui bahwa kedudukan benda-benda yang mereka sembah sekarang ini seperti manusia, pohon, batu dan sebagainya seperti matahari, rembulan, Idris, Abu Hadidah ibarat menyembah berhala “ (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 117).   

Pada kesempatan lain Muhamad bin Abdul Wahhab mengatakan: ‘Derajat kesyirikan kaum kafir Quraisy tidak jauh berbeda dengan mayoritas masyarakat sekarang ini ' (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 120). Dan pada kesempatan lain dia juga mengatakan: ‘Sewaktu masalah ini (tauhid dan syrik .red) telah engkau ketahui niscaya engkau akan mengetahui bahwa mayoritas masyarakat lebih dahsyat kekafiran dan kesyirikannya dari kaum musyrik yang telah diperangi oleh Nabi’ (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1hal.160)

Namun, setelah kita menela’ah dengan teliti konsep tauhid versi pendiri sekte tersebut (Muhamad bin Abdul Wahhab dalam kitab Tauhid-nya) ternyata banyak sekali kerancuan dan ketidakjelasan dalam pendefinisian dan pembagian, apalagi dalam penjabarannya. Bagaimana mungkin konsep tauhid rancu semacam itu akan dapat menjadi tolok ukur keislaman bahkan keimanan seseorang, bahkan dijadikan tolok ukur pengkafiran? Konsep tauhid rancu tersebut ternyata dijadikan tolok ukur oleh Muhamad bin Abdul Wahhab –yang mengaku paling paham konsep tauhid pasca Nabi– sebagai neraca kebenaran, keislaman dan keimanan seseorang sehingga dapat menvonis kafir bahkan musyrik setiap ulama (apalagi orang awam) yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Sebagai dalil dari ungkapan tadi, Muhamad bin Abdul Wahhab pernah menyatakan: “Kami tidak mengkafirkan seorang pun melainkan dakwah kebenaran yang sudah kami lakukan telah sampai kepadanya. Dan ia telah menangkap dalil kami sehingga argumen telah sampai kepadanya. Namun jika ia tetap sombong dan menentangnya dan bersikeras tetap meyakini akidahnya sebagaimana sekarang ini kebanyakan dari mereka telah kita perangi, dimana mereka telah bersikeras dalam kesyirikan dan mencegah dari perbuatan wajib, menampakkan (mendemonstrasikan) perbuatan dosa besar dan hal-hal haram…” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 234) .  

Disini jelas sekali bahwa, Muhamad bin Abdul Wahhab telah menjatuhkan vonis kafir dan syirik di atas kepala kaum muslimin dengan neraca kerancuan konsep Tauhid-Syirik versinya maka ia telah ‘memerangi’ mereka. Bid’ah dan kebiasaan buruk Muhamad bin Abdul Wahhab an-Najdi semacam ini yang hingga saat ini ditaklidi dan dilestarikan oleh pengikut Wahabisme, tidak terkecuali di Tanah Air.   Apakah kekafiran dan kesyirikan yang dimaksud oleh Muhamad bin Abdul Wahhab dalam ungkapan tersebut? Dengan singkat kita nyatakan bahwa yang ia maksud dari kesyirikan dan kekafiran tadi adalah; ‘pengingkaran terhadap dakwah Wahabisme’. Dan dengan kata yang lebih terperinci ialah; ‘Meyakini terhadap hal-hal yang dinyatakan syirik dan kafir oleh Wahabisme seperti Tabarruk, Tawassul, Ziarah Kubur…dan sebagainya’.
Padahal, hingga sekarang ini, para pemuka Wahabi –baik di Indonesia maupun di negara asalnya sendiri– masih belum mampu menjawab banyak kritikan terhadap ajaran Wahabisme berkaitan dengan hal-hal tadi.                  
             
Para pengikut faham Wahabi/Salafi memberikan tanggapan kepada para pengkaji yang melakukan penyelidikan mengenai Islam meneliti kitab-kitab mereka hingga menyebabkan mereka akhirnya beranggapan bahwa Islam adalah agama yang kaku, beku, terbatas dan tidak dapat beradaptasi pada setiap masa dan zaman. Umpamanya seorang berkebangsaan Amerika –Lothrop Stodard– mengatakan: “Kesan dari semua itu, kritikan-kritikan telah timbul  karena ulah Wahabi berpegang kepada dalil tersebut dalam ucapan mereka hingga dikatakan bahwa Islam dari segi jauhar dan tabiatnya tidak mampu lagi berhadapan dengan perubahan menurut kehendak dan tuntutan zaman, tidak dapat berjalan seiringan dengan keadaan kemajuan dan proses perubahan serta tidak lagi mempunyai kesatuan dalam perkembangan kemajuan zaman dan perubahan masa ..” [15 Hadir al-`Alam al-Islami, Vol.I, hal. 264].  Untuk menjelaskan kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh Muhamad  bin Abdul Wahhab serta pengikutnya, dan juga menjelaskan kekeliruan yang  menimpa banyak para pengikutnya, yang atas dasar itu kemudian mereka mengkafirkan mayoritas kaum Muslimin hingga zaman kita sekarang ini, mau tidak mau para ulama pakar berbagai madzhab meletakkan pemikiran-pemikirannya diatas meja pembahasan dan pengkajian.  

Penentangan Terhadap Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.     
Para ulama al-Hanbali memberontak terhadap Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan mengeluarkan hukum bahwa akidahnya adalah sesat, menyeleweng   dan batil. Tokoh pertama yang mengumumkan penentangan terhadapnya adalah ayah Muhammad Abdul Wahhab sendiri, al-Syaikh ‘Abd al-Wahhab, diikuti oleh saudaranya, al-Syaikh Sulayman. Kedua-duanya adalah dari madzhab al-Hanabilah. Al-Syaikh Sulayman menulis kitab yang berjudul al-Sawa‘iq al-Ilahiyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahabiyyah untuk menentang dan memeranginya. Di samping itu tantangan juga datang dari sepupunya – ‘Abdullah bin Husain, Mufti Makkah– Zaini Dahlan mengatakan: “Abdal-Wahhab –ayah Muhammad bin abdul wahab– adalah seorang yang sholih dan merupakan seorang tokoh ahli ilmu, begitulah juga dengan saudaranya al-Syaikh Sulayman. Al-Syaikh `Abd al-Wahhab dan al-Syaikh Sulayman, kedua-duanya dari awal  –ketika Muhammad Abdul Wahhab mengikuti pengajarannya di Madinah al-Munawwarah– telah mengetahui pendapat dan pemikiran Muhammad yang meragukan. Kedua-duanya telah mengeritik dan mencela pendapatnya dan mereka berdua turut memperingatkan orang ramai mengenai bahayanya pemikiran Muhammad..” ( Zaini Dahlan, al-Futuhat al-Islamiyah, Vol. 2, hal.357).        

Saudara Muhammad Ibnu Abdul Wahhab yang bernama Sulaiman bin Abdul Wahhab membantahnya didalam kitabnya yang berjudul ash-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahabiyyah.
Syeikh Sulaiman menulis sebagai berikut: Sejak zaman sebelum Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu pada zaman para imam Islam, belum pernah ada yang meriwayatkan bahwa seorang imam kaum Muslimin mengkafirkan mereka, mengatakan mereka murtad dan memerintahkan untuk memerangi mereka. Belum pernah ada seorang pun dari para imam kaum Muslimin yang menamakan negeri kaum Muslimin sebagai negeri syirik dan negeri perang, sebagaimana yang anda –Muhammad Abdul Wahhab– katakan sekarang. Bahkan lebih jauh lagi, anda mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan perbuatan-perbuatan ini, meskipun dia tidak melakukannya. Kurang lebih telah berjalan delapan ratus tahun atas para imam kaum Muslimin, namun demikian tidak ada seorang pun dari para ulama kaum Muslimin yang meriwayatkan bahwa mereka (para imam kaum Muslimin) mengkafirkan orang Muslim. Demi Allah, keharusan dari perkataan anda –Muhammad Abdul Wahhab– ini ialah anda mengatakan bahwa seluruh umat setelah zaman Ahmad (Ahmad bin Hanbal) –semoga rahmat Allah tercurah atasnya– baik para ulamanya, para penguasanya dan masyarakatnya semua mereka itu kafir dan murtad, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. (Risalah Arba’ah Qawa’id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.4).

Sulaiman bin Abdul Wahhab juga berkata (untuk saudaranya Muhammad Abdul Wahhab) didalam halaman 4 ini sebagai berikut:  Hari ini umat mendapat musibah dengan orang yang menisbahkan dirinya kepada Al-Qur’an dan sunnah, menggali ilmu keduanya, namun tidak mempeduli kan orang yang menentangnya. Jika dia diminta untuk memperlihatkan perkataannya kepada ahli ilmu, dia tidak akan melakukannya. Bahkan, dia mengharuskan manusia untuk menerima perkataan dan pemahamannya. Barangsiapa yang menentangnya, maka dalam pandangannya orang itu seorang yang kafir. Demi Allah, pada dirinya tidak ada satupun sifat seorang ahli ijtihad. Namun demikian, begitu mudahnya perkataannya menipu orang-orang yang bodoh. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Allah, berilah petunjuk orang yang sesat ini, dan kembalikanlah dia kepada kebenaran”.    

Ulama golongan Wahabi/Salafi menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman ini sudah tobat, benarkah demikian ?  
Ada salah seorang Wahabi menyatakan bahwa diakhir hayat Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab –saudara tua dan sekandung Muhammad bin Abdul Wahhab– telah bertaubat dan menyesali segala yang telah dilakukannya yaitu penentangan keras terhadap ajaran adiknya, Wahabisme. Penentangan itu dilakukannya dengan berupa nasehat (?) kepada Sang adik, baik melalui lisan maupun dengan menulis surat (risalah) yang selama ini dilakukannya atas keyakinan ajaran Sang adik. Bukti-bukti konkrit, kuat dan ilmiah telah beliau sampaikan ke Sang adik, namun apa daya, ikhtiyar menerima kebenaran bukan terletak pada tangan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Begitu juga Khairuddin az-Zarkali yang bermadzhab Wahabi asal Syria, dalam kitab al-A’lam jilid 3 halaman 130 dia menyatakan dalam karyanya tersebut; “Ada yang menyatakan(?) bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul-Wahhab telah bertaubat dalam menentang pemikiran adiknya, Muhammad bin Abdul-Wahhab”. Namun sayangnya dalam buku ini dia (az-Zarkali) tidak berani memberi isyarat tentang kebenaran pernyataan tobatnya Syeikh Sulaiman, apalagi meyakininya dengan menyebut bukti-bukti konkrit. Hal itu karena memang ketiadaan bukti yang konkrit serta otentik akan ke-taubat-an Syeikh Sulaiman dalam penentangannya atas ajaran adiknya.            
             
Ada seorang penulis Wahabi lain asal Syria yang juga menjelaskan tentang pribadi Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Dia adalah Umar Ridho Kahhalah pengarang kitab “Mu’jam al-Mu’allifin” (lihat jilid 4 halaman 269, tentang Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab). Cuman terjadi perbedaan di antara kedua penulis diatas itu yaitu sewaktu menyebut tahun wafat Syeikh Sulaiman. Al-Kahhalah menyebutkan bahwa Syeikh Sulaiman wafat tahun 1206 Hijriyah. Sedangkan az-Zarkali menyebutkannya pada tahun 1210 Hijriyah. Bagaimana mereka berdua bisa membuktikan secara konkrit  tentang tobatnya Syeikh Sulaiman, untuk mengetahui kapan wafatnya Syeikh ini mereka masih berbeda pendapat !             
             
Mengenai karya-karya Syeikh Sulaiman yang menangkal ajaran adiknya (Wahabisme), Al-Kahhalah dalam kitab “Mu’jam al-Mu’allifin” (jilid 4 halaman 269) menyebutkan judul kitab “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Madzhabal-Wahabiyah” (Petir-Petir Ilahi pada Madzhab Wahabisme). Begitu juga yang dinyatakan dalam kitab “Idhoh al-Maknun” (lihat jilid 2 halaman 72). Dan didalam kitab Idhoh al-Maknun ini juga menyinggung kitab karya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab lainnya yang berjudul “Fashlul Khitab fi Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab” (Seruan Utama pada Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab). Namun, surat panjang yang kemudian dicetak menjadi kitab yang sudah beberapa kali dicetak itu memiliki judul panjang; “Fashlul Khitab min Kitab Rabbil Arbab, wa Hadits Rasulallah al-Malak al-Wahhab, wa kalaam Uli al-Albab fi Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab”    (Seruan Utama dari Kitab Penguasa dari segala penguasa –Allah swt.– , dan hadits utusan Maha Kuasa dan Maha Pemberi anugerah –Muhammad saw.– dan ungkapan pemilik akal sehat pada madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab).   Kitab ini telah dicetak di beberapa Negara; di India pada tahun 1306 H, di Turki pada tahun 1399 H, di Mesir, Lebanon dan beberapa Negara lainnya.        

Padahal kalau kita baca, kitab “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Madzhab al-Wahabiyah” adalah merupakan surat teguran Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab terhadap adiknya (Muhammad bin Abdul Wahhab) secara langsung, namun kitabnya beliau yang berjudul “Fashlul Khitab fi Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab” adalah surat yang ditujukan kepada “Hasan bin ‘Idan”, salah satu sahabat dan pendukung setia nan fanatik Muhammad bin Abdul Wahhab (pencetus Wahabisme). Jadi ada dua karya yang berbeda dari Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, yang kedua-duanya berfungsi sama yaitu mengeritik ajaran Wahabisme, walaupun keduanya berbeda dari sisi obyek yang diajak bicara. Dan tidak benar jika dikatakan bahwa terjadi perubahan judul dari karya beliau tadi, karena adanya dua buku dengan dua judul yang berbeda tersebut.    
             
Kedua surat itu walaupun memiliki perbedaan dari sisi obyek yang diajak bicara (satu buat sang adik, dan satu lagi buat pendukung fanatik buta adiknya), namun memiliki kesamaan dari sisi kekuatan dan keilmiahan argumentasinya, baik argument dari al-Qur’an, Hadits maupun dari para Salaf Sholeh. Tentu sebagai seorang kakak, Syeikh Sulaiman tahu betul sifat dan watak adiknya yang hidup bersamanya dari semenjak kecil. Dia paham bahwa apa yang dilakukannya akan sia-sia, namun apa yang dilakukannya itu tidak lain hanya sebagai argumentasi pamungkas (Itmam al-Hujjah) akan segala perbuatan adiknya. Sehingga ia berpikir, dengan begitu ia tidak akan dimintai pertanggung-jawaban lagi oleh Allah, kelak di akherat, sebagai seorang kakak dan seorang ulama yang dituntut harus sigap dalam melihat dan menyikapi segala penyimpangan, berdasarkan konsep “Amar Makruf Nahi Munkar” yang diperintahkan (diwajibkan) Islam. Namun secara realita, usaha Syeikh Sulaiman tidak memberi hasil. Muhammad bin Abdul Wahhab tetap menjadi Muhammad bin Abdul Wahhab Sang pencetus Wahabisme, Syeikhul Wahabiyah. Apalagi dia merasa di atas angin setelah mendapat dukungan penuh Kerajaan Saud (Saudi Arabia) pada waktu itu, dari sisi harta dan kekuatan.

Sedangkan sejarah telah menulis bahwa kekuatan Saud tadi didapat dari dukungan kerajaan Inggris, –penjajah Jazirah Arab kala itu– dalam memenangkan Saud di atas semua kabilah Arab yang menentang keberadaan imperialis Inggris kala itu. Muhammad bin Abdul Wahhab tidak lagi bisa mendengar (tuli) dan melihat (buta) akan kebenaran argumen al-Qur’an, hadits dan ungkapan Salaf Sholeh yang keluar dari siapapun, termasuk Sang kakak yang tergolong salah seorang ulama madzhab Hanbali dizamannya. Segala usaha Syeikh Sulaiman terhadap Sang adik dan pendukung setia adiknya tadi ibarat apa yang pernah Allah swt. singgung dalam al-Qur’an yang berbunyi; “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang  yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS al-Qoshosh: 56). Dalam ayat lainnya: “Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?” (QS az-Zukhruf: 40). Atau ayat: “Apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan” (QS Yunus 43).       

Dari keterangan diatas jelas sekali bahwa, kebenaran pernyataan yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab telah bertobat merupakan pernyataan yang tidak berdasar, karena tidak ada bukti konkrit dan otentik akan kebenaran hal itu, misalnya bukti tertulis karya Syeikh Sulaiman sendiri atau paling tidak orang yang sezaman dengan beliau. Yang ada hanya pengakuan-pengakuan dari para ulama Wahabi kontemporer sendiri (yang tidak mengetahui ihwal meninggalnya Syeikh Sulaiman, apalagi hidupnya) yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman telah tobat, telah mengikuti bahkan menyokong sekte ajaran adiknya (Wahabisme).Ini adalah pembohongan yang diatas namakan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Semua itu mereka lakukan tidak lain hanya untuk membersihkan pengaruh negatif akibat pengingkaran kakak kandung pencetus Wahabisme yang akan memberikan image negatif terhadap perkembangan sekte Wahabisme ini.             
             
Jadi, atas dasar itu jangan heran jika pengikut Wahabi seperti Khairuddin az-Zarkali tidak berani dengan terang-terangan bahkan cenderung ragu dalam menghukumi kebenarannya. Apalagi ditambah dengan kenyataan yang ada di luar bahwa para pengikut sekte Wahabi ini –terkhusus para ulamanya yang berada di Saudi, Yaman dan Kuwait– sangat membenci Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Jika Syeikh Sulaiman benar-benar telah bertaubat, kenapa ada kesepakatan (terkhusus antar ulama Wahabi beserta para santri mereka) untuk mencela dan menghina ulama madzhab Hanbali (salah satu madzhab Ahlussunah wal Jama’ah) ini? Jika madzhab Hanbali (yang metode madzhabnya banyak diadopsi oleh Wahabi) saja diolok-olok, bagaimana dengan madzhab lain Ahlussunah seperti madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i?  
NB: Untuk diketahui oleh pembaca nama-nama dan judul kitab golongan Wahabi kontemporer (tidak sezaman bahkan hidup jauh pasca Syeikh Sulaiman wafat) yang menulis dan mengarang-ngarang tentang taubatnya Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab dari penentangan ajaran Wahabisme (sekte bikinan adiknya) adalah: “Ibnu Ghannam (Tarikh Nejed 1/143); Ibnu Bisyr (Unwan Majd hal. 25); Syaikh Mas’ud An Nadawi (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum 48-50); Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Ta’liq Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hal. 95); Syaikh Ahmad bin Hajar Alu Abu Thami (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hal. 30); Syaikh Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwa’ir (Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab Syaikh muftara ‘alaihi lihat majalah Buhuts Islamiyah edisi 60/1421H); Syaikh Nashir Abdul Karim Al Aql (Islamiyah la Wahabiyah hal. 183); Syaikh Muhammad As-Sakakir (Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab wa Manhajuhu fi Dakwah hal. 126); Syaikh Sulaiman bin Abdurrahman Al Huqail (Hayat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hal. 26. yang diberi kata pengantar oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh) dan lain-lain”. Jika kita lihat masa hidup mereka semua, maka bagaimana mungkin mereka akan bisa memberi kesaksian atas pertaubatan Syeikh Sulaiman sedang mereka tidak sezaman bahkan jauh dari zaman Syeikh Sulaiman wafat? Mungkinkah (secara logis dan ilmiah) orang-orang itu mampu memberikan secara langsung (tanpa merujuk orang-orang yang sezaman dengan Syeikh Sulaiman) kesaksian pertaubatan syeikh Sulaiman? Silahkan pembaca yang budiman renungkan! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar